SEJARAH
PENDIDIKAN
“PERBANDINGAN
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
AL
GHAZALI DAN AZ ZARNUJI”
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Hamruni, M. Si
Disusun oleh :
Hayya Ulma Azra Wildy Nuraji 13410145
/ 25
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
2016
Riwayat
Hidup Az Zarnuji
Burhan Al Islam Az Zarnuji dikenal
dengan panggilan Az Zarnuji, berasal dari kota zarnuj, yaitu suatu negeri yang menurut Al Qarasy berada di Turki
dan menurut Yaqut Al Hamami terletak di Turkistan, di seberang sungai Tigris.
Az Zarnuji adalah pengikut mazhab hanafi. Mazhab tersebut dianut oleh
orang-orang Turki dan keturunannya di berbagai penjuru dunia. Ciri utama mazhab
tersebut adalah mengutamakan ra’yu dan analogi.
Pada
saat Az Zarnuji hidup, kalaupun keadaan politik dan militer Islamiyah merosot,
namun tidak demikian halnya dengan keadaan ilmu pengetahuan. Bahkan pada masa
itu, ilmu pengetahuan tambah menanjak maju. Jarji Zaidan menyatakan bahwa zaman
keemasan Islam adalah masa daulah Abbasiyah periode keempat (467-656 H), sebab
dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah tumbuh dengan pesat dan
berbagai kitab telah ditulis, seperti ilmu bahasa, sejarah, geografi, sastra
dan filsafat. Dengan demikian, berarti Az Zarnuji hidup di masa kejayaan ilmu
pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan masih juga berlangsung
sampai pada abad ke 14. Ilmu pendidikan pada masa itu belum merupakan cabang
ilmu tersendiri, tetapi masih dikelompokkan pada bidang akhlak.
Az
Zarnuji belajar di Bukhara dan Samarqan, yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan
keilmuan. Masdjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan berbagai lembaga
pendidikan yang diasuh antara lain oleh Burhan Ad Din Al Marghinani, penulis
kitab Al Hidayah dan puteranya, Nizan
Ad Din Ibnu Burhan Ad Din Al Marghinani, Syams Ad Din Abu Al Wajdi, Muhammad
Ibnu Abd As Satar Al ‘Amadi dan lain-lain. Kepada beliau itulah Az Zarnuji belajar
dan menimba ilmu. Selain tiga orang tersebut, Az-Zarnuji belajar kepada: Ali
Ibnu Abu Bakr Ibnu Abd Al Jalil Al Faraghi Al Marghinani Ar Rusytani, Rukn Al
Islam Muhammad Ibnu Abi Bakr, ahli fiqh, sastra dan syair, wafat pada tahun 573
H / 1177 M., Hamad Ibnu Ibrahim, ahli fiqh, sastra dan ilmu kalam, wafat pada
tahun 576 h / 1180 M., Burhan Ad Din Al Kasyani, wafat tahun 587 H / 1191 M.,
Fakhr Ad Din Al Hasan Ibnu Mansur yang dikenal dengan Qadli Khan, wafat tahun
592 H / 1196 M., Rukn Ad Din Al Farghani ahli sastra dan syair, wafat tahun 594
H / 1098 M., Al Imam Sadid Ad Din Asy Syirazi.[1]
Kitab
Ta’lim Muta’allim yang ditulis oleh
Az-Zarnuji adalah kitab tuntunan atau panduan belajar bagi peserta didik
sekaligus panduan bagi pendidik yang sangat popular di hampir seluruh pesantren
di Indonesia. Kitab tersebut oleh kebanyakan ahli dinilai sebagai kitab yang
cukup memadai untuk dijadikan tuntunan peserta didik agar dapat mencapai sukses
dalam belajar serta menjadi insan yang utuh, berkepribadian.
Mahalli
dan Mujawazah (1994) menilai, bahwa kitab Ta’lim
Muta’allim memiliki kontribusi besar dalam membendung pengaruh rasionalisme
yang terbukti banyak membawa ekses negative. Pada masanya kitab tersebut telah
tampil sebagai alternative untuk mengatasi ekses-ekses rasionalisme terutama
pada zaman Murad Khan abad XIV.
Menyadari
akan pentingnya makna pendidikan bagi terbentuknya generasi yang memiliki
kepribadian, di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba materialistik dan
rasionalistik ini, maka kitab Ta’lim
Muta’allim yang didasarkan pada nilai-nilai Islami, besar artinya jika
dikaji kembali secara kritis, terutama di kalangan peserta didik dalam rangka
memperoleh wawasan kependidikan yang utuh yang menyelaraskan pengembangan
potensi akal dan etik, zikir dan pikir.[2]
·
Isi Kitab Ta’lim Muta’allim Karya
Az-Zarnuji:
1. Hakikat
Ilmu dan Keutamaannya
2. Niat
di waktu Belajar
3. Memilih
Ilmu, Pendidik, dan Teman serta Ketabahan dalam Mempelajari Ilmu
4. Menghormati
Ilmu dan Orang yang Berilmu
5. Sungguh-sungguh,
Kontinu, dan Minat yang Kuat
6. Permulaan
Belajar, Kadar Belajar, dan Urutan Ilmu yang Dipelajari
7. Tawakkal
8. Saat
Terbaik Untuk Belajar
9. Kasih
Sayang dan Nasehat
10. Dapat
Mengambil Pelajaran
11. Wara’ di
Waktu Belajar
12. Penyebab
Hafal dan Lupa
13. Penyebab
Bertambah dan Berkurangnya Rizki[3]
Dari ke 13 hal tersebut
dapat disimpulkan ke dalam 3 bagian besar. Abdul Muidh Khan dalam bukunya The
Muslim Theories of Education During The Ages, menyimpulkan bahwa inti kitab ini
mencakup 3 hal, yaitu:
1. The
Division of Knowledge (Pembagian Ilmu)
2. The
Purpose of Learning ( Tujuan dan Niat Belajar)
3. The
Method of Study (Metode Pembelajaran)
Muhammad
Al-Ghazali (450-505 H.)
Nama lengkapnya adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H.
perjalanan intelektualnya diawali dengan berangkat menuju Naisabur untuk
belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini.
Karena kecerdasan dan kepintarannya, Al-Juwaini menjadikannya sebagai asisten.
Alghazali menjadi
terkenal karena kitabnya hingga didekati oleh Universitas Nidzam al-Muluk, dan
menjadi guru/dosen di Nidzamiyah Baghdad tahun 484 H. untuk menambah
wawasannya, Al-Ghazal menemui berbagai macam mazhab dan berbagai macam
kelompok. Semua merasa kagum terhadap ucapannya dan mereka banyak mengutipnya
dalam berbagai karangan mereka.
Alghazali telah
menuliskan pengalamannya ini dalam kitabnya, Al-Munqidz min al-Dhalal, yang ia susun pada akhir-akhir usianya.
Ia menulisnya dimulai dari ilmu kalam dan metode mutakalimin, kemudian filsafat, kemudian Mazhab Islamiyah. Kemudian
dia mengakhiri pembahasan kitabnya dengan Mazhab Shufi.
Terakhir, ia
meninggalkan pekerjaan dan rumahnya, kemudian menuju ke Syam untuk mencari
jalan orang-orang yang sungguh-sungguh (al-Jahidiina),
dan dia melakukan khalwat di masjid
Al-Umuwy dan gurun pasir berbatu di Baitul Maqdis. Ia melakukan hal ini selama
10 tahun, hingga ia mendapatkan keterbukaan, menyaksikan kebenaran dan terbuka
jalan kesuksesan. Setelah itu ia kembali ke Baghdad dan menetapkan Majelis “Nashihat”. Al-Ghazali menceritakan hal
ini dalam kitab Al-Ihya, yang ditulis
dalam perjalanan ke Syam. Setelah itu, ia meninggalkan Baghdad dan pergi menuju
tempat kelahirannya Thus. Ia menyibukkan diri dengan berdakwah dan melakukan
bimbingan (pengajaran).
Dalam keadaan ini, ia
ditemui oleh seorang menteri dari Nidzham al-Muluk hingga 2 kali, yang kedua
kalinya memintanya untuk mengajar di Madrasah Nidzhamiyah Naisabur. Setelah
itu, ia kembali ke negerinya, Thus. Lalu ia membangun sekolah disamping
rumahnya, dengan mengkhususkan kajian pada kesufian. Dengan demikian, ia
membagi waktunya untuk mengajar, menyusun buku, ibadah, hingga wafat pada hari
Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.
Sebagai seorang pemikir
Islam, Al-Ghazali telah banyak melahirkan karya tulis. Tulisan-tulisannya itu
meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan; teologi Islam, hukum Islam
(fiqih), tasawuf, tafsir, akhlak, adab kesopanan, dan sebagainya. Diantara
karyanya yang popular adalah Maqashid
al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf), Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Ayyuha al-Walad (wahai anak-anak), Fatihatul Kitab (pembuka kitab), Mizan al-‘Amal (timbangan amal), Minhajul ‘Abidin (pedoman bagi para
hamba), dan sebagainya.
Diantara karya-karyanya
tersebut, terdapat satu karyanya yang paling fenomenal, yaitu kitab Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama) yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Buku ini
merupakan karya terbesar yang dihasilkan selama hidupnya, yang dikarangnya
selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus,
Yerusalem, Hijaz dan Thus, yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan
filsafat.[4]
Pemikiran
Al-Ghazali tentang Pendidikan
Al-Ghazali
memiliki interes terhadap pendidikan, karena dia pernah menjadi guru pada masa
Sultan Malik syah dari Daulah Bani Saljuk pada pertengahan abad kelima hijriah
di madrasah Nidzamiyah. Madrasah ini
dibangun tahun 457 H oleh Nidzamu
al-Mulk.
Dalam
madrasah ini, materi pelajaran yang diberikan kepada murid hanya terbatas ilmu
syari’ah. Madrasah tersebut tidak mengajarkan ilmu-ilmu hikmah (sciences). Hal ini terbukti bahwa ulama
yang mengajar di madrasah tersebut adalah ulama di bidang syari’ah: Abu Ishaq
al-Syairazi, Imam al-Ghazali dan al-Qazwaini. Sedangkan para ulama yang ahli
filsafat dan ilmu-ilmu umum tidak ikut memberi kuliah. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pendiri dan pengajar madrasah bukan orang yang menaruh minat
terhadap pengetahuan dan bukan pula pendukung untuk penelitian ilmiah, sehingga
pada zaman Nidzam al-Mulk ini dikenal
sebagai zaman mundurnya filsafat. Tetapi pada zaman ini menitikberatkan pada
pendidikan agama dan bukan pendidikan umum.
Selama
proses belajar mengajar yang dilakukan dimadrasah tersebut, al-Ghazali
menemukan berbagai persoalan antara lain; Abu Ishaq al-Syairazi tidak mau
mengajar dimadrasah ini dengan alasan bahwa dana yang digunakan dalam pembiayaan
proses belajar adalah harta yang tidak halal, pelajaran yang diberikan lebih
menekankan pada pelajaran syari’ah dan pelajaran ilmu hikmah (sciences) tidak diberikan. Kondisi
tersebut membekas dalam hati al-Ghazali sehingga dia mulai berpikir bagaimanakah
proses pendidikan itu. Dari proses
berpikir tersebut akhirnya mendorong dia untuk keluar dari madrasah dan pergi
ke Syam, hidup di masjid al-Umawi sebagai hamba yang taat ibadah. Meninggalkan
kemewahan dan mendalami suasana ruhaniyah serta menyucikan diri dari noda
duniawi.
Dari
perjalanan pengembaraan tersebut dia kembali ke Baghdad untuk mengajar lagi.
Namun penampilannya berbeda dengan sebelumnya. Sewaktu pertama berada di
Baghdad, dia tampil sebagai guru ilmu agama. Al-Ghazali tidak saja seorang imam
dan tokoh agama yang sufi, melainkan seorang guru yang telah benar-benar
mengarifi ajaran Rasulullah sehingga telah mendarah daging pada dirinya dan
akhirnya dia menemukan makna pendidikan yaitu proses menghilangkan akhlak yang
buruk dan menanamkan akhlak yang baik.
Bertolak dari
perjalanan al-Ghazali dalam proses belajar dan mengajar di Madrasah Nidzamiyah dan pengembaraan, hidup
sebagai hamba di masjid al-Umawi membentuk prilaku religius, dibuktikan ketika
kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali dengan visi berbeda dari visi sebelumnya,
yang secara umum memiliki ciri khas yaitu warna religius dan kerangka etik yang
mewarnai ciri khasnya tentang makna pendidikan Islam. Oleh sebab itu, dia tidak
hanya terkenal sebagai seorang guru agama, tetapi juga sebagai seorang imam dan
tokoh agama yang menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang
baik sebagai upaya untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.[5]
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Pengertian
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan
menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses
kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan
yang progresive pada tingkah laku
manusia.
Dari
pengertian di atas, Al-Ghazali menitikberatkan pada prilaku manusia yang sesuai
dengan ajaran Islam sehingga di dalam melakukan suatu proses diperlukan sesuatu
yang dapat diajarkan secara indoktrinatif atau sesuatu yang dapat dijadikan
mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada batin manusia yang memiliki empat unsur
yang harus diperbaiki secara keseluruhan serasi dan seimbang. Keempat unsur
tersebut meliputi: kekuatan ilmu, kekuatan “ghadhab”
(kemarahan), kekuatan syahwat (keinginan) dan kekuatan keadilan. Dengan
terintegrasinya keempat unsur tersebut dalam diri manusia, maka diharap kan
dapat melahirkan keindahan watak manusia.
Sedangkan
tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Al-Ghazali adalah taqarrub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan,
menonjolkan karakteristik religius moralis dengan tidak mengabaikan urusan
keduniaan sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan
hidup di akhirat. Dalam buku Al-Ghazali yang cukup terkenal (Ihyȃ Ulȗm al-Dȋn yang disitir oleh
Fathiyah Hasan Sulaiman) dia menyatakan sebagai berikut:
“Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih
akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang
tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat
persinggahan, bukan bagi orang yang akan menjadikannya sebagai tempat tinggal
yang kekal dan negeri abadi.”
Bertolak dari pendapat
di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah
kesempurnaan melalui pencarian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Dengan
keutamaan tersebut, maka akan memberikan kebahagiaan didunia serta sebagai
jalan untuk mendekat kepada Allah SWT, sehingga mendapatkan pula kebahagiaan
diakhiraT. Meskipun demikian, Al-Ghazali tidak membuat lupa akan pentingnya
menuntut ilmu yang bersifat fardhu
kifayah. Karena ilmu itu berkaitan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat
tertentu. Maksudnya bahwa ilmu memiliki mlai-nilai dan dengan ilmu seseorang
akan mendapat nikmat dan kesenangan tanpa melupakan sumbernya. Disamping itu,
ilmu-ilmu tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun, Al-Ghazali
lebih menekankan pada ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ‘ain sebab ilmu dapat menyampaikan seseorang kepada
kebahagiaan yang abadi. Jalan itu hanya dapat dicapai dengan ilmu dan amal.
Dengan kata lain, pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Menurut
pandangan Al-Ghazali, ilmu adalah amal yang paling utama, baik yang bersifat fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.[6]
PERSAMAAN
Dan PERBEDAAN
Pemikiran
Tentang Pendidikan
|
|
AL
GHAZALI
|
AZ
ZARNUJI
|
Akhlak
|
|
Aspek Etika dalam Belajar
|
|
Manusia wajib mempelajari ilmu
yang diperlukan setiap saat terkait dengan kewajibannya kepada Allah SWT.
|
|
Aspek tentang (Tugas / Peran) Pendidik
dan Peserta Didik untuk terciptanya pembelajaran yang efektif dan tercapainya
tujuan pendidikan.
|
|
Kitab:
Berdasarkan beberapa karya(kitab) Al
Ghazali, menunjukkan bahwa beliau merupakan tokoh sufi yang memiliki
perhatian sangat serius pada persoalan pendidikan (pengertian dan tujuan
pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar dan metode pengajaran).[7]
|
Kitab:
Kitab Ta’lim Muta’allim adalah kitab tuntunan atau panduan belajar. Merupakan
bimbingan dalam belajar yang disertai uraian teknisnya.
|
Latar Belakang:
Materi pelajaran di madrasah
Nidzamiyah yang diberikan kepada murid hanya terbatas ilmu syari’ah dan tidak
mengajarkan ilmu-ilmu hikmah (sciences).
|
Latar Belakang:
Ilmu pendidikan pada masa itu belum
merupakan cabang ilmu tersendiri, tetapi masih dikelompokkan pada bidang
akhlak.
|
Kurikulum dibagi kedalam 2 peringkat,
yaitu: a). Peringkat Dasar dan b). Peringkat Menengah dan Tinggi.[8]
|
Kurikulum:
Dalam hal Pembagian Ilmu, yaitu:
Ilmu Agama (terkait kewajiban manusia
kepada Allah SWT), Ilmu terkait/sesuai Profesi, Ilmu Akhlak yang baik dan
buruk serta cara menjauhinya, serta Ilmu yang keguanaannya situasional.[9]
|
Proses Belajar Mengajar (PBM) atau
transformasi ilmu pengetahuan, menurut Al-Ghazali adalah datangnya dari
Allah. Allah SWT menyampaikan ilmu kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat
Jibril. Allah SWT adalah guru yang utama, sedangkan malaikat Jibril adalah
yang kedua, dan guru yang ketiga adalah nabi Muhammad SAW. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa semua manusia di bumi mendapat ilmu dari para Nabi.
Oleh sebab itu, dunia dianggap suatu institusi pendidikan yang besar dan
proses pembelajaran dimulai dari pendidikan agama atau pembelajaran corak
agama.[10]
|
|
Metode Belajar berdasarkan pada Isi
Kitab Ta’lim Muta’allim:
1. Hakikat
Ilmu dan Keutamaannya
2. Niat
di waktu Belajar
3. Memilih
Ilmu, Pendidik, dan Teman serta Ketabahan dalam Mempelajari Ilmu
4. Menghormati
Ilmu dan Orang yang Berilmu
5. Sungguh-sungguh,
Kontinu, dan Minat yang Kuat
6. Permulaan
Belajar, Kadar Belajar, dan Urutan Ilmu yang Dipelajari
7. Tawakkal
8. Saat
Terbaik Untuk Belajar
9. Kasih
Sayang dan Nasehat
10. Dapat
Mengambil Pelajaran
11. Wara’ di
Waktu Belajar
12. Penyebab
Hafal dan Lupa
13. Penyebab
Bertambah dan Berkurangnya Rizki
|
|
Metode Mengajar: Beliau menulis metode
khusus pendidikan agama untuk anak-anak yang dilengkapi dengan metode
pendidikan akhlak terpuji dan dilengkapi dengan keutamaannya.Menuntut adanya
komunikasi timbal balik antara guru dan murid.[11]
|
DAFTAR
PUSTAKA
Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag., 2014, Pendidikan ISLAM
Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2009, Pendidikan ISLAM Dari Paradigma Klasik Hingga
Kontemporer, Malang: UIN-Malang Press.
[1] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan
ISLAM Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press,
2009), hlm. 267-268.
[2] Ibid., hlm. 265-266.
[3] Ibid., hlm. 268-284.
[4] Heri Gunawan, Pendidikan ISLAM Kajian Teoritis dan
Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 322-324.
[5] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN
Maulana Malik Ibrahim, Pendidikan ISLAM
Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 164-166.
[6] Ibid., hlm. 166-168.
[7] Ibid., hlm. 164.
[8] Ibid., hlm. 168.
[9] Ibid., hlm. 268-269.
[10] Ibid., hlm. 175-176.
[11] Ibid., hlm. 179.
"TOLONG BIJAKLAH DALAM MENGERJAKAN TUGAS !, NO COPY ~ PASTE !, & SILAHKAN GUNAKAN HANYA UNTUK REFERENSI ATAU CONTOH SAJA, TERIMAKASIH :) "
"TOLONG BIJAKLAH DALAM MENGERJAKAN TUGAS !, NO COPY ~ PASTE !, & SILAHKAN GUNAKAN HANYA UNTUK REFERENSI ATAU CONTOH SAJA, TERIMAKASIH :) "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar