Minggu, 19 Juni 2016

Pemikiran Islam Tokoh Al-Ghazali & Az-Zarnuji



SEJARAH PENDIDIKAN
“PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
AL GHAZALI DAN AZ ZARNUJI”
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Hamruni, M. Si











  
Disusun oleh :
Hayya Ulma Azra Wildy Nuraji         13410145 / 25

  

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
2016

Riwayat Hidup Az Zarnuji
            Burhan Al Islam Az Zarnuji dikenal dengan panggilan Az Zarnuji, berasal dari kota zarnuj, yaitu suatu negeri yang menurut Al Qarasy berada di Turki dan menurut Yaqut Al Hamami terletak di Turkistan, di seberang sungai Tigris. Az Zarnuji adalah pengikut mazhab hanafi. Mazhab tersebut dianut oleh orang-orang Turki dan keturunannya di berbagai penjuru dunia. Ciri utama mazhab tersebut adalah mengutamakan ra’yu dan analogi.
            Pada saat Az Zarnuji hidup, kalaupun keadaan politik dan militer Islamiyah merosot, namun tidak demikian halnya dengan keadaan ilmu pengetahuan. Bahkan pada masa itu, ilmu pengetahuan tambah menanjak maju. Jarji Zaidan menyatakan bahwa zaman keemasan Islam adalah masa daulah Abbasiyah periode keempat (467-656 H), sebab dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah tumbuh dengan pesat dan berbagai kitab telah ditulis, seperti ilmu bahasa, sejarah, geografi, sastra dan filsafat. Dengan demikian, berarti Az Zarnuji hidup di masa kejayaan ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan masih juga berlangsung sampai pada abad ke 14. Ilmu pendidikan pada masa itu belum merupakan cabang ilmu tersendiri, tetapi masih dikelompokkan pada bidang akhlak.
            Az Zarnuji belajar di Bukhara dan Samarqan, yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan. Masdjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan berbagai lembaga pendidikan yang diasuh antara lain oleh Burhan Ad Din Al Marghinani, penulis kitab Al Hidayah dan puteranya, Nizan Ad Din Ibnu Burhan Ad Din Al Marghinani, Syams Ad Din Abu Al Wajdi, Muhammad Ibnu Abd As Satar Al ‘Amadi dan lain-lain. Kepada beliau itulah Az Zarnuji belajar dan menimba ilmu. Selain tiga orang tersebut, Az-Zarnuji belajar kepada: Ali Ibnu Abu Bakr Ibnu Abd Al Jalil Al Faraghi Al Marghinani Ar Rusytani, Rukn Al Islam Muhammad Ibnu Abi Bakr, ahli fiqh, sastra dan syair, wafat pada tahun 573 H / 1177 M., Hamad Ibnu Ibrahim, ahli fiqh, sastra dan ilmu kalam, wafat pada tahun 576 h / 1180 M., Burhan Ad Din Al Kasyani, wafat tahun 587 H / 1191 M., Fakhr Ad Din Al Hasan Ibnu Mansur yang dikenal dengan Qadli Khan, wafat tahun 592 H / 1196 M., Rukn Ad Din Al Farghani ahli sastra dan syair, wafat tahun 594 H / 1098 M., Al Imam Sadid Ad Din Asy Syirazi.[1]
            Kitab Ta’lim Muta’allim yang ditulis oleh Az-Zarnuji adalah kitab tuntunan atau panduan belajar bagi peserta didik sekaligus panduan bagi pendidik yang sangat popular di hampir seluruh pesantren di Indonesia. Kitab tersebut oleh kebanyakan ahli dinilai sebagai kitab yang cukup memadai untuk dijadikan tuntunan peserta didik agar dapat mencapai sukses dalam belajar serta menjadi insan yang utuh, berkepribadian.
            Mahalli dan Mujawazah (1994) menilai, bahwa kitab Ta’lim Muta’allim memiliki kontribusi besar dalam membendung pengaruh rasionalisme yang terbukti banyak membawa ekses negative. Pada masanya kitab tersebut telah tampil sebagai alternative untuk mengatasi ekses-ekses rasionalisme terutama pada zaman Murad Khan abad XIV.
            Menyadari akan pentingnya makna pendidikan bagi terbentuknya generasi yang memiliki kepribadian, di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba materialistik dan rasionalistik ini, maka kitab Ta’lim Muta’allim yang didasarkan pada nilai-nilai Islami, besar artinya jika dikaji kembali secara kritis, terutama di kalangan peserta didik dalam rangka memperoleh wawasan kependidikan yang utuh yang menyelaraskan pengembangan potensi akal dan etik, zikir dan pikir.[2]
·      Isi Kitab Ta’lim Muta’allim Karya Az-Zarnuji:
1.      Hakikat Ilmu dan Keutamaannya
2.      Niat di waktu Belajar
3.      Memilih Ilmu, Pendidik, dan Teman serta Ketabahan dalam Mempelajari Ilmu
4.      Menghormati Ilmu dan Orang yang Berilmu
5.      Sungguh-sungguh, Kontinu, dan Minat yang Kuat
6.      Permulaan Belajar, Kadar Belajar, dan Urutan Ilmu yang Dipelajari
7.      Tawakkal
8.      Saat Terbaik Untuk Belajar
9.      Kasih Sayang dan Nasehat
10.  Dapat Mengambil Pelajaran
11.  Wara’ di Waktu Belajar
12.  Penyebab Hafal dan Lupa
13.  Penyebab Bertambah dan Berkurangnya Rizki[3]
Dari ke 13 hal tersebut dapat disimpulkan ke dalam 3 bagian besar. Abdul Muidh Khan dalam bukunya The Muslim Theories of Education During The Ages, menyimpulkan bahwa inti kitab ini mencakup 3 hal, yaitu:
1.      The Division of Knowledge (Pembagian Ilmu)
2.      The Purpose of Learning ( Tujuan dan Niat Belajar)
3.      The Method of Study (Metode Pembelajaran)

Muhammad Al-Ghazali (450-505 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H. perjalanan intelektualnya diawali dengan berangkat menuju Naisabur untuk belajar kepada Imam  al-Haramain al-Juwaini. Karena kecerdasan dan kepintarannya, Al-Juwaini menjadikannya sebagai asisten.
Alghazali menjadi terkenal karena kitabnya hingga didekati oleh Universitas Nidzam al-Muluk, dan menjadi guru/dosen di Nidzamiyah Baghdad tahun 484 H. untuk menambah wawasannya, Al-Ghazal menemui berbagai macam mazhab dan berbagai macam kelompok. Semua merasa kagum terhadap ucapannya dan mereka banyak mengutipnya dalam berbagai karangan mereka.
Alghazali telah menuliskan pengalamannya ini dalam kitabnya, Al-Munqidz min al-Dhalal, yang ia susun pada akhir-akhir usianya. Ia menulisnya dimulai dari ilmu kalam dan metode mutakalimin, kemudian filsafat, kemudian Mazhab Islamiyah. Kemudian dia mengakhiri pembahasan kitabnya dengan Mazhab Shufi.
Terakhir, ia meninggalkan pekerjaan dan rumahnya, kemudian menuju ke Syam untuk mencari jalan orang-orang yang sungguh-sungguh (al-Jahidiina), dan dia melakukan khalwat di masjid Al-Umuwy dan gurun pasir berbatu di Baitul Maqdis. Ia melakukan hal ini selama 10 tahun, hingga ia mendapatkan keterbukaan, menyaksikan kebenaran dan terbuka jalan kesuksesan. Setelah itu ia kembali ke Baghdad dan menetapkan Majelis “Nashihat”. Al-Ghazali menceritakan hal ini dalam kitab Al-Ihya, yang ditulis dalam perjalanan ke Syam. Setelah itu, ia meninggalkan Baghdad dan pergi menuju tempat kelahirannya Thus. Ia menyibukkan diri dengan berdakwah dan melakukan bimbingan (pengajaran).
Dalam keadaan ini, ia ditemui oleh seorang menteri dari Nidzham al-Muluk hingga 2 kali, yang kedua kalinya memintanya untuk mengajar di Madrasah Nidzhamiyah Naisabur. Setelah itu, ia kembali ke negerinya, Thus. Lalu ia membangun sekolah disamping rumahnya, dengan mengkhususkan kajian pada kesufian. Dengan demikian, ia membagi waktunya untuk mengajar, menyusun buku, ibadah, hingga wafat pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.
Sebagai seorang pemikir Islam, Al-Ghazali telah banyak melahirkan karya tulis. Tulisan-tulisannya itu meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan; teologi Islam, hukum Islam (fiqih), tasawuf, tafsir, akhlak, adab kesopanan, dan sebagainya. Diantara karyanya yang popular adalah Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf), Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Ayyuha al-Walad (wahai anak-anak), Fatihatul Kitab (pembuka kitab), Mizan al-‘Amal (timbangan amal), Minhajul ‘Abidin (pedoman bagi para hamba), dan sebagainya.
Diantara karya-karyanya tersebut, terdapat satu karyanya yang paling fenomenal, yaitu kitab Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Buku ini merupakan karya terbesar yang dihasilkan selama hidupnya, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz dan Thus, yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.[4]
Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
            Al-Ghazali memiliki interes terhadap pendidikan, karena dia pernah menjadi guru pada masa Sultan Malik syah dari Daulah Bani Saljuk pada pertengahan abad kelima hijriah di madrasah Nidzamiyah. Madrasah ini dibangun tahun 457 H oleh Nidzamu al-Mulk.
            Dalam madrasah ini, materi pelajaran yang diberikan kepada murid hanya terbatas ilmu syari’ah. Madrasah tersebut tidak mengajarkan ilmu-ilmu hikmah (sciences). Hal ini terbukti bahwa ulama yang mengajar di madrasah tersebut adalah ulama di bidang syari’ah: Abu Ishaq al-Syairazi, Imam al-Ghazali dan al-Qazwaini. Sedangkan para ulama yang ahli filsafat dan ilmu-ilmu umum tidak ikut memberi kuliah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendiri dan pengajar madrasah bukan orang yang menaruh minat terhadap pengetahuan dan bukan pula pendukung untuk penelitian ilmiah, sehingga pada zaman Nidzam al-Mulk ini dikenal sebagai zaman mundurnya filsafat. Tetapi pada zaman ini menitikberatkan pada pendidikan agama dan bukan pendidikan umum.
            Selama proses belajar mengajar yang dilakukan dimadrasah tersebut, al-Ghazali menemukan berbagai persoalan antara lain; Abu Ishaq al-Syairazi tidak mau mengajar dimadrasah ini dengan alasan bahwa dana yang digunakan dalam pembiayaan proses belajar adalah harta yang tidak halal, pelajaran yang diberikan lebih menekankan pada pelajaran syari’ah dan pelajaran ilmu hikmah (sciences) tidak diberikan. Kondisi tersebut membekas dalam hati al-Ghazali sehingga dia mulai berpikir bagaimanakah proses pendidikan itu.  Dari proses berpikir tersebut akhirnya mendorong dia untuk keluar dari madrasah dan pergi ke Syam, hidup di masjid al-Umawi sebagai hamba yang taat ibadah. Meninggalkan kemewahan dan mendalami suasana ruhaniyah serta menyucikan diri dari noda duniawi.
            Dari perjalanan pengembaraan tersebut dia kembali ke Baghdad untuk mengajar lagi. Namun penampilannya berbeda dengan sebelumnya. Sewaktu pertama berada di Baghdad, dia tampil sebagai guru ilmu agama. Al-Ghazali tidak saja seorang imam dan tokoh agama yang sufi, melainkan seorang guru yang telah benar-benar mengarifi ajaran Rasulullah sehingga telah mendarah daging pada dirinya dan akhirnya dia menemukan makna pendidikan yaitu proses menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.
Bertolak dari perjalanan al-Ghazali dalam proses belajar dan mengajar di Madrasah Nidzamiyah dan pengembaraan, hidup sebagai hamba di masjid al-Umawi membentuk prilaku religius, dibuktikan ketika kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali dengan visi berbeda dari visi sebelumnya, yang secara umum memiliki ciri khas yaitu warna religius dan kerangka etik yang mewarnai ciri khasnya tentang makna pendidikan Islam. Oleh sebab itu, dia tidak hanya terkenal sebagai seorang guru agama, tetapi juga sebagai seorang imam dan tokoh agama yang menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik sebagai upaya untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.[5]
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali
            Pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresive pada tingkah laku manusia.
            Dari pengertian di atas, Al-Ghazali menitikberatkan pada prilaku manusia yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga di dalam melakukan suatu proses diperlukan sesuatu yang dapat diajarkan secara indoktrinatif atau sesuatu yang dapat dijadikan mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada batin manusia yang memiliki empat unsur yang harus diperbaiki secara keseluruhan serasi dan seimbang. Keempat unsur tersebut meliputi: kekuatan ilmu, kekuatan “ghadhab” (kemarahan), kekuatan syahwat (keinginan) dan kekuatan keadilan. Dengan terintegrasinya keempat unsur tersebut dalam diri manusia, maka diharap kan dapat melahirkan keindahan watak manusia.
            Sedangkan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Al-Ghazali adalah taqarrub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan, menonjolkan karakteristik religius moralis dengan tidak mengabaikan urusan keduniaan sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. Dalam buku Al-Ghazali yang cukup terkenal (Ihyȃ Ulȗm al-Dȋn yang disitir oleh Fathiyah Hasan Sulaiman) dia menyatakan sebagai berikut:
“Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang akan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri abadi.”
Bertolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan melalui pencarian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Dengan keutamaan tersebut, maka akan memberikan kebahagiaan didunia serta sebagai jalan untuk mendekat kepada Allah SWT, sehingga mendapatkan pula kebahagiaan diakhiraT. Meskipun demikian, Al-Ghazali tidak membuat lupa akan pentingnya menuntut ilmu yang bersifat fardhu kifayah. Karena ilmu itu berkaitan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat tertentu. Maksudnya bahwa ilmu memiliki mlai-nilai dan dengan ilmu seseorang akan mendapat nikmat dan kesenangan tanpa melupakan sumbernya. Disamping itu, ilmu-ilmu tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun, Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ‘ain sebab ilmu dapat menyampaikan seseorang kepada kebahagiaan yang abadi. Jalan itu hanya dapat dicapai dengan ilmu dan amal. Dengan kata lain, pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Menurut pandangan Al-Ghazali, ilmu adalah amal yang paling utama, baik yang bersifat fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.[6]
 
PERSAMAAN Dan PERBEDAAN
Pemikiran Tentang Pendidikan
AL GHAZALI
AZ ZARNUJI
Akhlak
Aspek Etika dalam Belajar
Manusia wajib mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat terkait dengan kewajibannya kepada Allah SWT.
Aspek tentang (Tugas / Peran) Pendidik dan Peserta Didik untuk terciptanya pembelajaran yang efektif dan tercapainya tujuan pendidikan.
Kitab:
Berdasarkan beberapa karya(kitab) Al Ghazali, menunjukkan bahwa beliau merupakan tokoh sufi yang memiliki perhatian sangat serius pada persoalan pendidikan (pengertian dan tujuan pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar dan metode pengajaran).[7]
Kitab:
Kitab Ta’lim Muta’allim adalah kitab tuntunan atau panduan belajar. Merupakan bimbingan dalam belajar yang disertai uraian teknisnya.
Latar Belakang:
Materi pelajaran di madrasah Nidzamiyah yang diberikan kepada murid hanya terbatas ilmu syari’ah dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu hikmah (sciences).
Latar Belakang:
Ilmu pendidikan pada masa itu belum merupakan cabang ilmu tersendiri, tetapi masih dikelompokkan pada bidang akhlak.
Kurikulum dibagi kedalam 2 peringkat, yaitu: a). Peringkat Dasar dan b). Peringkat Menengah dan Tinggi.[8]
Kurikulum:
Dalam hal Pembagian Ilmu, yaitu:
Ilmu Agama (terkait kewajiban manusia kepada Allah SWT), Ilmu terkait/sesuai Profesi, Ilmu Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, serta Ilmu yang keguanaannya situasional.[9]
Proses Belajar Mengajar (PBM) atau transformasi ilmu pengetahuan, menurut Al-Ghazali adalah datangnya dari Allah. Allah SWT menyampaikan ilmu kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Allah SWT adalah guru yang utama, sedangkan malaikat Jibril adalah yang kedua, dan guru yang ketiga adalah nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua manusia di bumi mendapat ilmu dari para Nabi. Oleh sebab itu, dunia dianggap suatu institusi pendidikan yang besar dan proses pembelajaran dimulai dari pendidikan agama atau pembelajaran corak agama.[10]


Metode Belajar berdasarkan pada Isi Kitab Ta’lim Muta’allim:
1.      Hakikat Ilmu dan Keutamaannya
2.      Niat di waktu Belajar
3.      Memilih Ilmu, Pendidik, dan Teman serta Ketabahan dalam Mempelajari Ilmu
4.      Menghormati Ilmu dan Orang yang Berilmu
5.      Sungguh-sungguh, Kontinu, dan Minat yang Kuat
6.      Permulaan Belajar, Kadar Belajar, dan Urutan Ilmu yang Dipelajari
7.      Tawakkal
8.      Saat Terbaik Untuk Belajar
9.      Kasih Sayang dan Nasehat
10.  Dapat Mengambil Pelajaran
11.  Wara’ di Waktu Belajar
12.  Penyebab Hafal dan Lupa
13.  Penyebab Bertambah dan Berkurangnya Rizki
Metode Mengajar: Beliau menulis metode khusus pendidikan agama untuk anak-anak yang dilengkapi dengan metode pendidikan akhlak terpuji dan dilengkapi dengan keutamaannya.Menuntut adanya komunikasi timbal balik antara guru dan murid.[11]





DAFTAR PUSTAKA

Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag., 2014, Pendidikan ISLAM Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009, Pendidikan ISLAM Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN-Malang Press.


[1] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan ISLAM Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), hlm. 267-268.
[2] Ibid., hlm. 265-266.
[3] Ibid., hlm. 268-284.
[4] Heri Gunawan, Pendidikan ISLAM Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 322-324.
[5] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim, Pendidikan ISLAM Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 164-166.
[6] Ibid., hlm. 166-168.
[7] Ibid., hlm. 164.
[8] Ibid., hlm. 168.
[9] Ibid., hlm. 268-269.
[10] Ibid., hlm. 175-176.
[11] Ibid., hlm. 179.














"TOLONG BIJAKLAH DALAM MENGERJAKAN TUGAS !, NO COPY ~ PASTE !, & SILAHKAN GUNAKAN HANYA UNTUK REFERENSI ATAU CONTOH SAJA, TERIMAKASIH :) "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar